Tamu

Selasa, 02 April 2013

Wisata Rohani Di Bali

1.   Katholik

             Desa Katholik PALASARI Kab. Jembrana




Gereja Palasari didirikan untuk menjadi tempat ibadah umat Kristiani yang tinggal atau datang ke Bali. Namanya Gereja Paroki Hati Kudus Yesus atau lebih dikenal dengan sebutan yang pendek saja: Gereja Palasari. Gereja ini memiliki beberapa keunikan, terutama dari segi arsitektur bangunan dan usianya yang sudah puluhan tahun. Makanya tak mengherankan tak hanya wisatawan lokal saja yang dayang kesini, namun juga wisatawan asing juga banyak yang berkunjung kesini.





Gereja Palasari berada sejak tahun 1940-an, yang mana seorang bernama Pater Simon Buis membuka sebuah hutan Pala yang kemudian diberinama dengan Palasari (sekarang disebut dengan Palasari Lama). Disinilah Pater Simon membangun sebuah desa yang memiliki Mode Dorf yang desa berbudaya Bali namun tetap bernuansa Katholik yang kental.
Lantas, pada tahun 1955, sebuah bukit di kawasan ini diratakan dan dibangunlah sebuah gereja yang kokoh, yang memiliki arsitektur perpaduan antara Belanda dan bali. Gereja inipun kemudian diberinama Gereja Palasari dan diresmikan oleh Pastor Simon Bois. Dan pastor inilah yang kemudian mengenalkan agama Katholik kepada masyarakat Bali secara luas untuk yang pertama kalinya.
Keunikan dari gereja ini ialah bangunan gereka yang memadukan arsitektur ghotik dengan Bali. Meskipun gereja ini sudah berusia lumayan senja, namun kondisi dan keadaan didalam gedungnya masih terlihat terawat. Di pintu masuknya, terdapat seperti gapura yang pada umumnya tugu tersebut biasa terdapat di sebuah pura atau perumahan masyarakat Bali pada umumnya. Halaman Gereja Palasari yang banyak ditumbuhi pohon cemara dengan beberapa pembatas halaman gedung Gereja yang terdapat sedikit ukir ukiran Bali.

     















  

2. Hindu       

       

         PURA BESAKIH


    


          

   Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan RendangKabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih,Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.

Filosofi

Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat pemujaan terhadap Tuhan YME, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:
  1. Sistem pengetahuan,
  2. Peralatan hidup dan teknologi,
  3. Organisasi sosial kemasyarakatan,
  4. Mata pencaharian hidup,
  5. Sistem bahasa,
  6. Religi dan upacara, dan
  7. Kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.


         

Objek penelitian

Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.
Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhirpunden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa merupelinggihgedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.
Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi.
Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.
Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga memengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di Bali.

       

3. Kristen

            Desa BLIMBINGSARI







Desa Blimbingsari letaknya adalah
membujur dari arah timur ke barat, yang sebagian adalah merupakan dataran  rendah dan sebagian lagi merupakan daerah dataran tinggi berupa pegunungan dan perbukitan yang terdapat disebelah utara. Pada tengah-tengan desa Blimbingsari membentang jalan yang sudah diaspal sepintas  jika diperhatiakn dari atas terlihat seperti salib besar, adapun batas-batas desa Blimbingsari adalah Sebelah selatan  Desa Melaya, sebelah Utara merupakan kawasan hutan jati, disebelah Timur adalah desa Ekasari dan disebelah barat juga adalah hutan jati. Di desa ini tidak ditemukan suatu peninggalan kebudayaan yang berumur tua  sebagaimana umumnya desa-desa di Bali, sehingga tidak terlalu sukar bagi kita untuk mengetahui berapaumur desa Blimbingsari, sekaligus mengambil suatu kesimpulan bahwa desa Blimbingsari ini adalah desa baru. Pembukaan tanah diujung barat pulau Bali yang kemudian menjadi desa Blimbingsariini erat hubungannya dengan perkembangan agama Kristen di Pulau Bali.
Kira-kira 60 tahun yang lalu daerah yang terhitung dengan jumlah penduduk dengan segala perkembangan budayanya yang baru di Pulau Bali bagian timur, demikian pula agama-agama selain agama Hindu sebagai agama pribumi mulai berkembang. Pada waktu itu kehidupan sangat sensitif. Terdorong untuk mencari kehidupan yang lebih baik lagi, kira-kira bulan Agustus 1936 berangkat 3 orang  dari beberapa desa di kabupaten Badung untuk menyelidiki tanah dan telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah, mereka ini adalah Pekak Luh wartini ( I Made Sela ), I Nyoman Regig, dan Mas Renggo, pada waktu itu yang menjadi Sedahan Agung di Negara adalah Gusti Bagus Wastra Utama, beliau inilah yang mengantar para utusan ini untuk memeriksa tanah di daerah Melaya, rombongan disambut oleh lurah Melaya yang pada waktu itu adalah Lurah Jero Sentono.
Dapat diutarakan bahwa saat itu tanah yang diselidiki adalah sebuah kawasan hutan yang tertutup dengan beraneka ragam satwa termasuk juga banyaknya satwa liar atau binatang buas, namun walaupun demikian ketiga utusan tersebut tetap menganggap bahwa tanah yang diselidiki adalah merupakan  tanah yang baik. Dalam persidangan Rad Parikian di Sading ketiga utusan melaporkan hasil penyelidikannya dan pada akhirnya pada tanggal 30 Nopember 1939 mulailah hutan tersebut dibuka dengan berangkatnya 30 orang Kepala Keluarga. Mereka ini adalah pionir-pionir desa yang berbekalkan moto Ora Et Labora dan dengan sukacita yang besar membuka lahan untuk dijadikan suatu desa yang siap untuk didiami dan kurang lebih 5 bulan merabas hutan maka kawasan tersebut sudah dianggap siap untuk didiami atau dihuni, pemberian nama desa diilhami dengan banyaknya ditemukan pohon belimbing yang buahnya kecil-kecil, maka disebutlah tanah yang baru dibuka tersebut dengan nama Blimbingsari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar